Postmodernisme dan Dekonstruksi Media
Oleh Abd Aziz
Postmodernisme sebenarnya merupakan sebuah reaksi, atau bentuk perlawanan pemikinan dari modernisme yang muncul sejak akhir abad 19 dimana pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme.
Paham ini menganggap bahwa kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial, kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Intinya, Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Aliran pemahaman ini menganggap bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Sebab, individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Kalangan ilmuan menganggap, postmodernisme merupakan antitesis terhadap modernisme dan karenanya keduanya merupakan dua aspek dari gerakan yang sama, meski pada dasarnya memiliki perbedaan-perbedaan.
Modernisme mewakili berbagai gerakan budaya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Paham ini mencakup gerakan reformasi dalam seni, bacaan, musik, arsitektur, dan seni terapan.
Gerakan ini juga ditandai dengan usaha pelibatan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam setiap aspek kehidupan. Modernisme membawa reformasi di segala bidang kehidupan termasuk filsafat, perdagangan, seni, dan sastra dengan bantuan teknologi.
Pendekatan yang dilakukan bersifat obyektif, teoritis, dan analitis; sedangkan pendekatan postmodernisme didasarkan pada subjektivitas.
Perbedaan mendasar lain antara modernisme dan postmodernisme adalah bahwa pemikiran modernisme berkisar tentang pencarian kebenaran abstrak dalam hidup, sementara pemikir postmodernisme percaya bahwa tidak ada kebenaran universal.
Modernisme mencoba membangun sebuah pandangan dunia yang koheren sedangkan postmodernisme berusaha menghapus perbedaan status tinggi-rendah. Pemikiran modernisme percaya pada belajar dari pengalaman masa lalu dan mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.
Di sisi lain, pemikiran postmodernisme menentang setiap kebenaran dalam teks yang menceritakan masa lalu dan menjadikan itu tidak ada gunanya pada masa kini. Cendekiawan modernisme mempelajari suatu subjek secara mendalam untuk kemudian menganalisanya. Namun tidak demikian halnya dengan pemikir postmodernisme.
Kelompok ini percaya akan penampilan luar dan bermain di permukaan serta tidak peduli dengan kedalaman subjek.
Modernisme menganggap karya asli sebagai otentik sementara pemikir postmodernisme mendasarkan pandangan pada “hiper-realitas”, mereka bisa sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarkan melalui media.
Dunia Teks
Perkembangan berikutnya dari postmodernisme yang sangat berpengaruh pada pola pikir di abad ini adalah dekonstruksi teks atau yang lebih dikenal dengan istilah “hermeneutika”.
Pandangan dasar tentang hermeneutika ini, meneguhkan bahwa, teks akan memiliki makna dan pesannya tersampaikan sesuai dengan kapasitas wawasan dan pengetahuan si pembaca teks.
Subjektivitas personal menjadi sangat dominan. Sehingga memaknai teks adalah bergantung pada kapasitas personel sang pembaca.
Dalam konteks Islam, dekonstruksi teks ini memiliki pengaruh sangat fundamental. Sebut saja, bagaimana memaknai kekuasaan dalam kalimat “Yadullaha fauqa aidihim”.
Pada kata “yadun” muncul multi tafsir, apakah berarti tangan atau atau kekuasaan, dan dalam konteks ini, semuanya memposisikan sama-sama benar, karena yang memahami akan maksud yang sebenarnya adalah sang pembuat teks.
Sebagai bagian dari postmodernisme, hermeneutika menjadi aliran ilmu baru yang populer, tidak saja dalam perkembangan keilmuan di dunia barat, akan tetapi mampu merambah secara pasti pada dunia Islam.
Tak ada yang tidak berubah dalam kehidupan di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri, nampaknya menjadi landasan substantif bagi penganut pemikiran ini. Kebenaran dan kebaikan merupakan bentuk dari proses menjadi (being), dan bukan sesuatu yang final.
Seolah menyerupai pemikiran yang menyebutkan bahwa “al-adah al-muhakkamah/tradisi bisa menjadi landasan dan menetapkan hukum”, demikian juga hermeneutika meninjau makna teks berdasarkan kajian holistik, dan komprehensif.
Latar belakang munculnya pesan teks, kondisi sang pembuat teks, serta kapasitas personal, menjadi kajian mendalam, akan munculnya sebuah pesan.
“Penafian” akan kebenaran mutlak dan munculnya standar ganda kebenaran berdasarkan situasi dan kondisi yang melatar belakanginya itu, disatu sisi seolah meneguhkan bahwa semua bisa menjadi benar dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda, dan semua bisa salah dalam konteks dan sudut pandang yang berbeda pula.
Imbas Dunia Pers
Pada awalnya postmodernis memang lebih fokus pada paradigma dekonstruksi wacana teks dalam kaitannya atas tafsir dan pemaknaan dari sumber normatif agama.
Namun dalam perkembangan, pahan yang merupakan antitesis dari modernisme dan tradisionalisme juga berpengaruh pada dunia jurnalistik dengan landasan paradigma pemikiran yang sama, yakni subjektifitas personal memiliki pengaruh kuat dalam menyampaikan pesan teks.
Objektivitas yang merupakan kesepakatan komunal dari pandangan yang subjektif, menjadi pijakan mendasar untuk menggugah akurasi dan kepentingan sang pembuat pesan, dalam konteks jurnalis adalah sang pembuat berita.
Jurnalisme warga (citizen jurnalism) seolah menawarkan jalan tengah, dan jawaban atas keraguan akan akurasi informasi, meski sebenarnya juga tidak bisa lepas dari rasa subjektif.
Pada sebagian insan media, munculnya citizen jurnalism ini dianggap sebagai tantangan, tapi tidak sedikit pula yang menganggap sebagai peluang untuk berlomba-lomba menyajikan informasi yang lebih lengkap, faktual lebih akurat.
Pada posisi inilah, komitmen untuk menyajikan informasi yang lebih bermanfaat, mendidik, dan mencerahkan dipertaruhkan.
*Penulis adalah Ketua PWI Pamekasan. Tulisan ini disampaikan dalam kajian rutin Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Semesta Universitas Madura (Unira) Pamekasan pada 4 Mei 2016.